Rabu, 30 April 2008

Rusaknya Nilai Kehidupan





Rusaknya Nilai Kehidupan

Oleh : H. Mas’oed Abidin

Tahun demi tahun telah kita lepas. Setiap tahun selalu dimulai dan dibuka dengan harapan‑harapan. Sesuatu yang lebih baik dari yang silam selalu menjadi dambaan. Kecemasan selalu menghantui, karena hilang keamanan dan ketertiban. Hampir pada setiap sudut dunia terjadi kemelut. Kadang‑kadang juga terjadi di samping kita.
Kemelut yang selalu berakhir dengan terin­jaknya martabat kemanusiaan. Hilangnya keamanan dan rusak­nya nilai‑nilai kehidupan yang manusiawi, suatu yang sangat ditakuti. Tetapi seringkali itulah yang terjadi.

Dalam setiap keadaan terjadi sering kedzaliman atau keaniayaan. Dalam berbagai bentuk. Kedzaliman tampil ke permukaan bertepatan dengan saat‑saat manusia meninggalkan aturan‑aturan. Lebih kentara dikala orang mencecerkan hukum‑hukum Allah dan syari'at Agama‑NYA (Syari'at Islam).

Peringatan Allah Subhanahu wa ta'ala, menyebutkan :
“ Dan orang‑orang kafir (orang‑orang yang meninggal­kan hukum‑hukum Allah) senantiasa ditimpa bencana, ditimpa bahaya, sebab perbua­tan mreka sendiri, bahkan bencana itu tiba didekat rumah tempat kediaman mereka (dalam negeri sendiri), sehingga datang janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak pernah memungkiri janji" (Q.S. XIII‑Ar‑Ra'ad, ayat 31).


Janji Allah, berupa munculnya rasa takut di tengah kehidupan, semata-mata disebabkan karena ulah manusia jua. Hilangnya tauhid bertukar dengan syirik, merupakan salah satu penyebabnya.

Hilangnya aman lantaran tumbuhnya kufur.

Terbangnya iman dari lubuk hati, maka sirna‑lah aman dari kehidupan.

Merajalelanya kedzaliman disebabkan lupa kepada hukum‑hukum Allah (hududallah).


Kebahagiaan manusia dan lingkungan yang tadinya aman terancam punah.

Tanaman kehidupan yang baik tak kunjung menjadi kenyataan.

Semuanya terjadi karena kesalahan manusia semata.


Ukuran benarnya suatu kebenaran seringkali diukur dari derajat dan kedudukan pelaku kejahatan itu.

Bila pelakunya adalah pejabat, maka kejahatan dianggap suatu hal yang perlu mendapatkan perlindungan. Akibatnya, kualitas atau nilai kebenaran terabaikan.


Kualitas kebenaran, ukurannya adalah syari'at (aturan‑aturan) Agama Allah (Islam).
Asasnya adalah iman dan taqwa kepada Allah semata.

Realisasi taqwa adalah kerelaan melaksanakan hukum Allah Yang Maha Kuasa.

Suka atau tidak suka.

Unsur ini merupakan bukti dari kepatuhan.


Di dalam syari'at itu, tercakup semua aturan.

Baik yang menyangkut harkat kemanu­siaan, maupun yang bertalian dengan alam lingkungan.

Semua kaedahnya tertera dengan jelas, di dalam syariat Islam.



Iman, tidak berarti sekedar percaya akan adanya Allah, tanpa diikuti oleh perilaku.

Perilaku itu berupa amal‑shaleh.

Unsurnya adalah ikhlas, bersih dan lurus. Ukurannya, sesuai dengan kehendak Allah ‑ yang di imani‑ semata.
Amal, merupakan konsekwensi logis dari iman.

Aktivitas iman akan melahirkan ibadah‑ibadah yang benar.

Teguh kokoh melaksanakan setiap perintah Allah.

Terjauh dari semua unsur keaniayaan.

Baik itu menyangkut hubungan individu, atau lebih luas hubungan bermasyarakat.

Sampai kepada suatu tatanan kehidupan yang menyeluruh.


Suatu aturan (syari'at), ruang lingkungannya universal.

Tidak membedakan pangkat dan derajat.

Tidak mengenal perbedaan bangsa dan bahasa.

Pelaksanaan aturan‑aturannya tidak hanya terbatas pada kedudukan elit, juga tidak pada perbedaan kulit.



Dengan penerapan iman secara benar dan utuh ini, muncullah suatu sistem keadilan yang indah.
Terpatri dalam sejarah, tentang kisah Al Makhzumiy, sosok seorang pembesar (Quraisy) yang terpandang. Dikala ia melakukan tindak pencurian, korupsi dan manipulasi dalam jabatannya semasa itu, dia ditangkap. Diadili dan dijatuhi hukuman. Hukumannya potong tangan.


Beberapa pemuka Quraisy berpenda­pat, sebaiknya diajukan saja permohonan ampunan (grasi) kepada Muhammad Rasulullah SAW.

Pendapat para pemuka Quraisy ini mengedepan mengingat Al‑Makhzumiyah termasuk seorang anggota keluarga Quraisy yang disegani.

Lagi pula Muhammad Rasulullah SAW, juga seorang putra Quraisy yang "terbaik" dan mulia.

"Kita coba memanfaatkan situasi ini...," demikian usulan pemim­pin‑pemimpin Quraisy yang lainnya.

Hubungan keluarga dan tali darah, mungkin bisa merubah putusan syari'at yang ditimpakan.

Begitulah jalan fikiran pembesar Quraisy umumnya waktu itu.


Diutuslah seorang shahabat yang dikenal dekat dengan Muhammad SAW, sebagai perantara.

Yang dipilih mengemban tugas sebagai pembela ini adalah Usamah bin Zaid, yang dianggap tepat mengemban tugas menghadap Rasulullah SAW untuk menga­jukan permohonan "maaf" dari sang koruptor al Makhzumiyah ini.


Hubungan "kekerabatan" ditampilkan.

Shahabat dan kenalan, dianggap sebagai formula pembuka jalan.

Demi nama baik keluarga Quraisy, kiranya Al‑Makhzumiyah tidak jadi dijatuhi hukuman.

Setidak‑tidaknya agar hukuman kepadanya menjadi ringan.

Jangan ditimpakan hukum "potong tangan", yang bisa dianggap "mempermalukan seumur hidup”.


Tatkala permohonan seperti itu disampaikan oleh Usamah bin Zaid kepada Rasulullah, muka Muhammad SAW berubah merah padam.

Beliau menjadi marah.

Lantas Rasulullah SAW balik bertanya, dengan satu pertanyaan yang sesungguhnya tidak memerlukan jawaban lagi.



Rasulullah SAW bersabda: "Adakah kalian meminta keringanan terhadap suatu ketetapan undang-undang dari satu keputu­san yang telah ditetapkan oleh Allah....???"


Usamah bin Zaid, dan juga para sahabat lainnya menja­di terdiam dan kecut.

Rasulullah SAW menyampaikan pidato di hadapan orang banyak, yang ada pada waktu itu.

Amanat yang berisikan garis‑garis yang jelas.


Amanat itu menjelaskan tentang cara‑cara menumbuhkan aman.

Tentang hal-hal penyebab hilangnya stabilitas.

Tentang penerapan nilai‑nilai keadi­lan dalam mencapai kemakmuran.

Tentang menciptakan satu kemakmuran yang adil, yang didambakan setiap insan.


Amanat Rasulullah SAW ini berlaku terhadap manusia disetiap kurun sepanjang masa.

Sabda Beliau ini pendek dan padat, jelas lagi bernas. Isinya menembus jauh kerelung‑relung dhamir hati nurani insani.


Jika amanat Rasulullah SAW ini diterapkan sepenuhnya, diyakini tidak akan ada lagi para pencoleng.

Tidak akan ditemui lagi para koruptor dan pencuri, yang bisa berlindung dengan aman, karena tak terjangkau tangan‑tangan hukum.


Rasulullah SAW bersabda,
“Kehancuran yang telah menimpa ummat sebelum kamu, hanya (karena) ketimpangan penerapan hukum. Andaikata yang melakukan kesalahan (pencurian) atau korupsi, adalah orang‑orang terpandang di kalangan mereka, kalian telah membebaskannya (mereka kalian beri kekebalan hukum). Tetapi kalau yang melakukan pencurian (korupsi) adalah orang‑orang yang lemah (rakyat kebanyakan saja) diantara kamu, disaat itu (serta merta) kamu terapkan (kamu tegak­kan) hukum dengan pasti. (Terjadilah apa yang terjadi, pudarnya kepastian hukum, dan hilanglah sumber keadilan). Demi kemuliaan Allah, andaikata Fathimah Binti Muhammad (putri Rasulullah sendiri) melakukan pencurian, pasti akan aku potong juga tangannya". (Al Hadist).


Terlihat di sini bagaimana halus dan tegasnya Syari­'at agama Islam.

Suatu kepastian hukum, tanpa membedakan pelakunya.

Keadilan yang tidak mengenal perbedaan peradi­lan.
Pernilaian tidak dititik beratkan kepada siapa pela­kunya, tetapi kepada apa yang dilakukannya.

Dari sini lahirlah keadilan.




Dari sini pula tercipta keamanan yang kemudian menelorkan kebahagiaan.
Setiap orang tidak cemas akan perkosaan haknya.
Setiap pemerkosa hak, tidak akan merasa aman dari tangan‑tangan hukum karena merasa memi­liki hak‑hak istimewa.


"Kepastian hukum" yang diterapkan oleh Syari'at akan melahirkan "kesejahteraan" secara individu atau pun berma­syarakat.

Tumbuh pulalah satu perlombaan yang sehat.

Saling memelihara tegaknya aturan.

Sama‑sama terpelihara karena tegaknya aturan‑aturan itu.

Sama‑sama bahagia dalam membangun.

Sama‑sama pula dalam membangun kebahagiaan.


Syari'at Islam memulai langkahnya dengan nasehat.
Nasihat itu ditujukan untuk seluruh manusia.
Mencakup seluruh segi kehidupan.

Sumbernya pun jelas.

Nasihat yang berpangkal dari Allah (Al Qur'an).
Merujuk kepada contoh dan petunjuk pelaksanaan dari Muhammad Rasulullah SAW, yang dikenal sebagai Sunnah Rasul.



Mematuhi Allah berarti mematuhi sunnah Rasulullah.

Satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan.

Tidak bisa diingkari atau ditolak.


Dalam satu penjelasannya Rasulullah SAW menyebutkan bahwa,

“Ad‑dien (Syari'at agama Islam) itu adalah nasehat. (Mau'izhah Hasanah).

Kami bertanya, atas dasar apa wahai Rasulullah?" .

Dengan tegas Rasulullah SAW menjawab .." dari Allah dan dengan Kitabullah (Al‑Qur'an), dan Sunnah Rasul. Kemudian dengan kesepakatan pimpinan‑pimpinan ummat (dalam setiap urusan mereka, didunia dan untuk akhirat, berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah Nabi” (Al Hadist).



Dengan patokan ini, para Shahabat ber‑baiat kepada Rasulullah agar tegaknya Syari'at Islam itu dengan sempur­na.

Di antara isinya, para Shahabat tidak menjadi syirik, atau tidak mempersekutukan Allah.

Tidak melakukan pencurian, menjauh­kan diri dari perbuatan korupsi, manipulasi dalam bentuk dan kesempatan apapun.

Tidak berzina, yang melingkupi kepada pergaulan bebas, sehingga kaburnya batas‑batas antara yang boleh dan yang tidak. Terutama dalam hubungan manusia berlainan jenis.

Tidak membunuh anak, baik itu secara penanaman nilai‑nilai fikrah yang tidak agamis.

Semuanya dijalankan melalui jalur Nasihat Agama, mencakup syari'at Islam.
“Wahai orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolong kamu itu kaum yang dimurkai Allah, sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada didalam kubur berputus asa” (QS.60, al-Mumtahanah, ayat 12-13).


Bila kita melihat dengan kacamata kondisi hari ini, bukankah ini merupakan suatu ajakan kearifan mendalam, untuk selalu hati-hati dalam hubungan tolong bertolong dengan kaum yang mendapat kemurkaan Allah ???


Di antaranya dengan Yahudi dan Israel ???

Jangan buru-buru melakukan hubungan dagang atau apapun bentuknya dengan pihak mereka.

Begitulah semestinya yang dilakukan oleh seorang pemimpin yang memimpin satu negara di mana umatnya beragama Islam dan beriman kepada Allah, dan masih percaya kepada Al Quran Kitabullah.


Wallahu a’lamu bis-shawaab.

Padang, 10 Nopember 1999

Tidak ada komentar: