Oleh Rosihan Anwar
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/19/02054534/menolak.jadi.pahlawan.n
asional
Seminar berjudul "Kontribusi Ahmad Subardjo dalam Diplomasi Penegak
Kemerdekaan Indonesia" diselenggarakan atas prakarsa Menteri Luar
Negeri Hassan Wirajuda tanggal 25 Juli 2008 di Gedung Deplu. Saya
hadir karena diundang. Saya kira akan mendengarkan suatu pertukaran
pikiran akademik. Saya terheran-heran. Ternyata tujuan seminar
mengumpulkan bahan-bahan pendukung bagi usulan, supaya Ahmad Subardjo,
Menlu pertama RI, dijadikan Pahlawan Nasional.
Dua narasumber menguraikan tentang makna dan siapa pahlawan dan
tantang tolok ukur yang dipakai oleh Departemen Sosial untuk
menentukan seseorang menjadi Pahlawan Nasional. Menurut moderator,
perbincangan di luar bidang tadi supaya dihindarkan. Saya merasa diri
digiring atau railroaded ke satu sasaran: Ahmad Subardjo Pahlawan
Nasional.
Saya kehilangan minat mengikuti pertanyaan atau komentar dari pihak
hadirin. Eh, moderator (dari Deplu) meminta saya ikut berbicara selaku
"pelaku sejarah", katanya.
Kalimat-pemuka yang saya utarakan adalah jelas dan lantang, yaitu saya
mendukung tanpa ragu-ragu Bapak Ahmad Subardjo menjadi Pahlawan
Nasional. Namun, saya tambahkan dengan catatan: Kita harus jujur
terhadap diri sendiri, jujur terhadap kebenaran, jujur terhadap fakta
sejarah.
Sebelumnya dari floor ada yang menanyakan tentang Alimin (tokoh PKI)
sebagai Pahlawan Nasional agar gelarnya itu dicabut. Dari pihak
narasumber diberi keterangan bahwa Presiden Soeharto menolak
dicabutnya gelar itu dengan alasan itu adalah keputusan Presiden
sebagai sebuah lembaga. Maka, dalam konteks ini saya paparkan secara
ringkas fakta sejarah berikut.
Ahmad Subardjo terlibat dalam peristiwa 3 Juli 1946 di Yogyakarta (ini
suatu putsch atau upaya merebut kekuasaan dari pemerintah), ditahan
bersama Tan Malaka, pemimpin Persatuan Perjuangan di Tawangmangu. Tan
Malaka kemudian dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional, suatu keputusan
yang tepat. Akan tetapi, jika begitu halnya, jangan kita memakai
ukuran ganda atau double standard. Alimin dan Tan Malaka sudah
Pahlawan Nasional, nanti mudah-mudahan Ahmad Subardjo. Maka, mengapa
tidak juga mengusulkan sebagai Pahlawan Nasional tokoh-tokoh seperti
Mohammad Natsir, Syafrudin Prawiranegara, atau Amir Sjarifoeddin?
Orang-orang ini adalah pejuang kemerdekaan dari jam-jam pertama
revolusi. Mereka sama sekali tidak kurang dari Anak Agung Gde Agung
yang jadi Pahlawan Nasional tahun lalu. Karena Natsir dan Syafrudin
terlibat dalam gerakan PRRI-Permesta? Karena Amir Sjarifoeddin ikut
dengan PKI-Musso di Madiun?
Pikirkanlah itu. Mari kita jujur terhadap diri sendiri, kebenaran
fakta sejarah. Jangan tinggal beku dalam ketentuan aturan-aturan
birokrasi. Sebab ini soal yang cair mengalir, fluid, suatu proses
sejarah yang bisa dan harus menanggapi perubahan tolok ukur, nilai
serta paradigma.
Sebuah renungan
Seusai seminar yang tampaknya memuaskan pihak penyelenggara dari pihak
narasumber disampaikan kepada saya dengan santun bahwa apa yang telah
saya ucapkan adalah "suara PSI". Saya diam. Saya cuma bertanya pada
diri sendiri argumen macam apa itu? PSI atau Partai Sosialis Indonesia
telah dilarang dan dibubarkan oleh Presiden Soekarno medio 1960.
Keterangan saya tadi bersifat personal. Saya bukan anggota terdaftar
PSI, tetapi saya akui saya pengikut Sjahrir dan habitat saya adalah
lingkungan sosdem alias sosialis-demokrat. Sekali lagi saya tegaskan,
saya mendukung Ahmad Subardjo sebagai Pahlawan Nasional.
Ny Mien Soedarpo yang duduk di samping saya bertanya, apa untungnya
jadi Pahlawan Nasional? Saya jawab tidak ada kalau dari sudut materi
keuangan. Pahlawan Nasional tidak mendapat tunjangan tetap tiap bulan.
Gelar itu hanya demi kehormatan.
Saya merenung, andaikata saya diusulkan jadi Pahlawan Nasional, saya
akan menolak. Buat apa jadi Pahlawan Nasional? Namun, apabila saya
diminta jadi capres yang bertanding dalam Pilpres 2009, saya pasti
dengan penuh syahwat menjawab: Mau, mau. Cuma saya sudah berusia 86
tahun plus, artinya tokoh tua, stok lama, tidak punya "gizi",
bagaimana bisa mengiklankan diri dan menebar citra? Parpol mana mau
mengusung saya.
Untung saya tidak bisa bertanding, tak punya electability, derajat
keterpilihan. Sebab, lawan-lawan capres yang harus saya hadapi adalah
hebat. Bayangkan, SBY, JK, Megawati, Wiranto, Sutiyoso, Sutrisno
Bachir, Prabowo, Hidayat Nur Wahid, dan Rizal Ramli. Bayangkan capres
tokoh muda Ch airul Tanjung, Anies Baswedan, Yenni Wahid, Roy Sembel,
Yuddy Chrisnandi, dan Pramono Anung. Belum lagi Rizal Mallarangeng,
Fadjlur Rachman, Ratna Sarumpaet, you name it. Saya pasti dikalahkan
mereka.
Maka, yang tinggal pada diriku cuma suatu roh, suatu soul yang telah
ditetapkan akan terus mengejar terlaksananya impian Indonesia, The
Indonesian Dream.
Rosihan Anwar, Wartawan Senior
Tidak ada komentar:
Posting Komentar