Jumat, 19 Juni 2009

NILAI ISLAM DI DALAM BUDAYA MIANGKABAU, ADAT BASANDI SYARAK (ABS), SYARAK BASANDI KITABULLAH (SBK)

Membangkitkan Kesadaran Kolektif Akan Nilai Agama Islam
di dalam Norma Dasar Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
Untuk Membangun Manusia Yang Unggul Dan Tercerahkan


Oleh : H. Mas’oed Abidin



I. MEMAHAMI BAHWA MASYARAKAT MINANGKABAU ADALAH MASYARAKAT YANG MENGHORMATI HAK-HAK SIPIL (MADANI) YANG BERADAT DAN BERADAB

Kegiatan hidup masyarakat Minangkabau dipengaruhi oleh berbagai lingkungan tatanan (”system”) pada berbagai tataran (”structural levels”). Yang paling mendasar adalah ”meta-environmental system” yaitu tatanan nilai dan norma dasar sosial budaya berupa Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (selanjutnya di sini kita singkatkan saja dengan PDPH).


PDPH ini memengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat berupa sikap umum dan perilaku serta tata-cara pergaulan masyarakat. PDPH ini merupakan landasan pembentukan pranata sosial budaya yang melahirkan berbagai lembaga formal maupun informal.

Pranata sosial budaya (”social and cultural institution”) adalah batasan-batasan perilaku manusia atas dasar kesepakatan bersama yang menjadi ”kesadaran kolektif” di dalam pergaulan masyarakat berupa seperangkat aturan main dalam menata kehidupan bersama (“humanly devised constraints on actions; rules of the game.”).

PDPH merupakan pedoman serta petunjuk perilaku bagi setiap dan masing-masing anggota masyarakat di dalam kehidupan sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

PDPH memberikan ruang (dan sekaligus batasan-batasan) yang merupakan ladang bagi pengembangan kreatif potensi manusiawi dalam menghasilkan buah karya sosial, budaya dan ekonomi serta karya-karya pemikiran intelektual yang merupakan mesin perkembangan dan pertumbuhan masyarakat di segala bidang kehidupan.



II. MEMAHAMI BUDAYA MINANGKABAU DIBANGUN DI ATAS PETA REALITAS

Adat Minangkabau dibangun di atas ”Peta Realitas” yang dikonstruksikan secara kebahasaan (”linguistic construction of realities”) yang direkam terutama lewat bahasa lisan berupa pepatah, petatah petitih, mamang, bidal, pantun yang secara keseluruhan dikenal juga sebagai Kato Pusako. Lewat berbagai upacara Adat serta kehidupan masyarakat se-hari-hari, Kato Pusako menjadi rujukan di dalam penerapan PDPH di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.


Pengonstruksian kebahasaan itu berlaku lewat berbagai upacara Adat serta kehidupan masyarakat se-hari-hari, Kato Pusako menjadi rujukan di dalam penerapan PDPH di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Dengan perkataan lain, Adat yang bersendi kepada “Nan Bana” adalah Peta Realitas sekaligus Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan Masyarakat Minangkabau.

Dengan perkataan lain, Adat yang bersendi kepada “Nan Bana” adalah Peta Realitas sekaligus Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan Masyarakat Minangkabau.
Pokok pikiran ”alam takambang jadi guru” menunjukkan bahwa para filsuf dan pemikir Adat Minangkabau (Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan, menurut versi Tambo Alam Minangkabau) meletakkan landasan filosofis Adat Minangkabau atas dasar pemahaman yang mendalam tentang bagaimana bekerjanya alam semesta serta dunia ini termasuk manusia dan masyarakatnya.

Mereka telah menjadikan alam semesta menjadi ”ayat dari Nan Bana”. Dalam peta realitasnya, terungkap di dalam ”kato” yang menjadi mamangan masyarakatnya, di antaranya di dalam Fatwa adat menyebutkan, “Alang tukang tabuang kayu, Alang cadiak binaso adat, Alang alim rusak agamo, Alang sapaham kacau nagari. Dek ribuik kuncang ilalang, Katayo panjalin lantai, Hiduik jan mangapalang, Kok tak kayo barani pakai. Baburu kapadang data, Dapeklah ruso balang kaki, Baguru kapalang aja, Bak bungo kambang tak jadi”.


III. MEMAHAMI KONSEP BUDAYA MUSYAWARAH DAN MUPAKAIK

Konsep ”Adaik basandi ka mupakaik, mupakaik basandi
ka alua, alua basandi ka patuik, patuik basandi ka Nan Bana, Nan Bana Badiri Sandirinyo” menunjukkan bahwa sesungguhnya para filsuf dan pemikir yang merenda Adat Minangkabau telah mengakui keberadaan dan memahami ”Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo”, artinya kekuasaan dan kebenaran hakiki ada pada kekuasaan Tertinggi.

Sangat sedikit catatan sejarah dengan bukti asli/otentik tentang bagaimana sesungguhnya bentuk dan keberhasilan masyarakat Minangkabau di dalam menjalankan Adat yang bersendikan Nan Bana itu.

Sejarah dalam perjalanan masa yang dekat (dua tiga abad yang silam) menunjukkan bahwa di dalam kehidupan sehari-hari Masyarakat Minangkabau banyak ditemukan praktek-praktek yang kontra produktif bagi perkembangan masyarakat seperti judi, sabung ayam dan tuak dan lain-lain.

Masyarakat Minangkabau pra-ABS-SBK adalah Masyarakat Ber-Adat yang bersendikan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo. Sebagai buah hasil dari konstruksi realitas lewat jalur kebahasaan, hasil penerapannya di dalam kehidupan masyarakat se-hari-hari tergantung kepada sejauh mana ”peta realitas” itu memiliki ”hubungan satu-satu” (”one-to-one relationship”) atau sama sebangun dengan Realitas yang sebenarnya (Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu).

Terterapkannya berbagai perilaku kontra-produktip oleh beberapa bagian masyarakat menunjukkan bahwa ada kekurangan serta kelemahan dari Adat Minangkakau Sebagai Peta Realitas serta Petunjuk Jalan Kehidupan Bermasyarakat itu.


Kekurangan utama yang menjadi akar dari segenap kelemahan yang terperagakan itu adalah ada bagian dari Peta Realitas itu yang ternyata tidak sama sebangun dengan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketika Adat hanya bersendikan kepada Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo, ada yang kurang dan hilang dalam tali hubungan keduanya, yaitu antara Adat sebagai Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan dengan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu yang kita urai-jelaskan tadi.

Kekurangan utama (Peta yang tidak sama sebangun dengan Realitas) itu melahirkan beberapa kekurangan. Kekurangan turunan pertama adalah Adat Minangkabau Sebagai Peta Realitas tidak dilengkapi dengan Pedoman dan Petunjuk yang memadai tentang bagaimana ia seharusnya digunakan.

Peta yang tidak dilengkapi dengan bagaimana menggunakannya secara memadai adalah tidak bermanfaat, malah dapat menyesatkan.

Kekurangan selanjutnya, tidak dilengkapinya Adat Minangkabau Sebagai Peta Realitas itu dengan Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan yang memadai. Peta tanpa petunjuk jalan yang memadai tidak akan membawa kita ke mana-mana.

Kekurangan selanjutnya lagi, Adat yang menjadi Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan itu tidak dilengkapi dengan pedoman teknis perekayasaan perilaku (”social and behavioral engineering techniques”) yang memadai sehingga rumus-rumus dan resep-resep pembentukan masyarakat sejahtera berkeadilan berdasar Adat Minangkabau tidak dapat diterapkan.

Akar segala kekurangan serta sebab-musabab segala kelemahan berupa ketidak-lengkapan serta kurang-kememadai-an itu adalah ketiadaan “hubungan satu-satu” antara Peta Realitas dengan Realitas itu sendiri atau Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo itu.
Konsep dasar Adat Minangkabau (Adat Nan Sabana Adat) kemudian menjadi kesadaran kolektif berupa Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) manusia dan masyarakat Minangkabau.

Di samping itu, pengaruh kepercayaan lama serta Hindu dan Budha telah mewarnai tata-cara dan praktek penyembahan yang kita belum memiliki catatan yang lengkap tentang itu.

Filsul dan pemikir yang merenda Adat Minangkabau telah mengakui dan memahami keberadaan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo. Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo termasuk Alam Terkembang yang menjadi Guru.

Dari pemahaman bagaimana Alam Terkembang bekerja, termasuk di dalam diri manusia dan masyarakatnya, direndalah Adat Minangkabau. Sebelum peristiwa Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam, budaya Minangkabau dapat digambarkan lewat diagram di bawah ini. Keseluruhan pepatah, petatah petitih, mamang, bidal, pantun yang berisikan gagasan-gagasan bijak itu dikenal sebagai Kato Pusako.

Kato Pusako itu yang kemudian dilestarikan secara formal lewat pidato-pidato Adat dalam berbagai upacara Adat. Sastera Lisan juga merekam Kato Pusako dala kemasan cerita-cerita rakyat, seperti Cindua Mato, dll.


PDPH Masyarakat Minangkabau juga diungkapkan seni musik (saluang, rabab), seni pertunjukan (randai), seni tari (tari piriang), dan seni bela diri (silek dan galombang). Benda-benda budaya (karih, pakaian pangulu, mawara dll), bangunan (rumah bagonjong), serta artefak lain-lain mengungkapkan wakil fisik dari konsep PDPH Adat Minangkabau. sehingga masing-masing menjadi lambang dengan berbagai makna. Bila digambarkan Budaya Minangkabau bersumber kepada “Nan Bana” sebagai bagan di bawah ini ;

Konsep dasar PDPH (Adat Nan Sabana Adat) itu diungkapkan lewat Bahasa, terutama Bahasa Lisan (Sesungguhnya Minangkabau pernah memiliki tulisan berupa adaptasi dari Huruf Pallawa dari India (pengaruh agama Hindu/Budha).

Konsep PDPH yang merupakan inti Adat Minangkabau (Adat Nan Sabana Adat) memengaruhi sikap umum dan tata-cara pergaulan, yang lebih dikenal sebagai Adat nan Diadatkan dan Adat nan Taradat.


IV. MEMAHAMI PEMESRAAN (ASIMILASI) NILAI-NILAI AJARAN ISLAM KE DALAM FILOSOFI BUDAYA MINANGKABAU

Sesudah masuknya Islam terjadi semacam lompatan kuantum (”quantum leap”) di dalam budaya Minangkabau, dengan bertumbuh-kembangnya manusia-manusia unggul dan tercerahkan yang muncul menjadi tokoh-tokoh yang berperan penting dalam sejarah kehidupan masyarakat adat Minangkabau di kawasan ini. Bagaimana gejala itu bisa diterangkan?. Semata karena nilai yang dibawa oleh ajaran Islam mudah mengakar ke dalam kehidupan masyarakat di Minangkabau.


Sesudah itu tumbuh masyarakat yang beradat dan beragama Islam di kawasan ini. Orang Minangkabau terkenal kuat agamanya dan kokoh adatnya. Seorang anak Minangkabau di mana saja berdiam tidak akan senang di sebut tidak beragama, dan tidak beradat.
Orang yang tidak beradat dan tidak beragama Islam, di samakan kedudukannya dengan orang tidak berbudi pekerti Di sebutkan indak tahu di nan ampek.

Adat Minangkabau dinamis, menampakkan raso (hati, arif, intuitif) dan pareso (akal, rasio, logika), hasil nyata dari alam takambang jadi guru, makin kokoh dengan keyakinan yang diisi oleh agama Islam yang benar (haq dari Rabb).

Kalangan terdidik (el-fataa) di Minangkabau khususnya selalu hidup dalam bimbingan agama Islam. Dengan bimbingan agama dalam kehidupan, maka ukhuwah persaudaraan (ruh al ukhuwwah) yang terjalin baik.

Kekerabatan yang erat telah menjadi benteng yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan. Kekerabatan tidak akan wujud dengan meniadakan hak-hak individu orang banyak. Selanjutnya, tamak dan loba akan mempertajam permusuhan antara sesama. Bakhil akan meruntuhkan perasaan persaudaraan dan perpaduan.

Nilai-nilai ajaran Islam mengajarkan agar setiap Muslim wajib mengagungkan Allah dan menghargai nikmatNya yang menjadi sumber dari rezeki, kekuatan, kedamaian dan membimbing manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya.

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ

Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang beriman yang mengeluarkan mereka dari berbagai kegelapan kepada nur(hidayah-Nya). Dan orang-orang kafir itu pelindung-pelindung mereka ialah taghut ( sandaran kekuatan selain Allah) yang mengeluarkan mereka daripada nur (hidayah Allah) kepada berbagai kegelapan …. (Al-Baqarah, 257).


Meta-environment (tatanan nilai dan norma dasar sosial budaya) yang dibentuk oleh nilai-nilai ajaran Islam sebagai Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (way of life) dikawal dengan membentuk lembaga pemerintahan ”tigo tungku sajarangan” yang menata kebijakan “macro-level” (dalam hal ini “adat nan sabana adat, adat istiadat, dan adat nan taradat) bagi pengaturan kegiatan kehidupan masyarakat untuk kemaslahatan “anak nagari” Minangkabau.

Dengan demikian setiap dan masing-masing anggota pelaku kegiatan sosial, budaya dan ekonomi pada tingkat sektoral (meso-level) maupun tingkat perorangan (micro-level) dapat mengembangkan seluruh potensi dan kreativitasnya sehingga terciptalah manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan.

Dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan, generasi Minangkabau dengan filosofi adat basandi syarak syarak basandi Kitabullah mampu berpegang pada sikap istiqamah (konsistensi). Melalui pengamatan ini tidak dapat disangkal bahwa Islam telah berpengaruh kuat di dalam Budaya Minangkabau.



V. MEMAHAMI ABS SBK MERUPAKAN BATU POJOK BANGUNAN MASYARAKAT MINANGKABAU YANG (DULU PERNAH) UNGGUL DAN TERCERAHKAN

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah merupakan hasil kesepakatan -- Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam di awal abad ke 19 -- dari dua arus besar (”main-streams”) Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) Masyarakat Minangkabau yang sempat melewati konflik yang melelahkan. Sejarah membuktikan, kesepakatan yang bijak itu telah memberikan peluang tumbuhnya beberapa angkatan ”generasi emas” selama lebih satu abad berikutnya.


Maka, peristiwa sejarah yang menghasilkan Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam dapat disikapi dan diibaratkan bagaikan “siriah nan kambali ka gagangnyo, pinang nan kambali ka tampuaknyo”.

Dari Adat yang pada akhirnya bersendikan kepada Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo, disepakati menjadi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”(ABS-SBK).
PDPH masyarakat Minangkabau sejak dahulu, terutama bila dilihat pada tenggang waktu lebih satu abad, dalam rentang singkat (1800-1950), telah melahirkan angkatan-angkatan “generasi emas”, dengan mengamalkan tatanan dan nilai adat dan keyakinan yang berjalin berkelindan dengan sebuah adagium “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”(ABS-SBK), sehingga tidak tertolak alasan bahwa ABS-SBK itu, telah menjadi Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) yang menata seluruh kehidupan masyarakat Minangkabau dalam arti kata dan kenyataan yang sesungguhnya.

Dalam periode keemasan itu, Minangkabau dikenal sebagai lumbung penghasil tokoh dan pemimpin, baik dari kalangan alim ulama ”suluah bendang anak nagari” maupun ”cadiak pandai” (cendekiawan pemikir dan pemimpin sosial politik), yang berkiprah di tataran nusantara serta dunia internasional.

Generasi beradat dan beragama yang kuat dalam Masyarakat Adat Minangkabau itu telah menjadi ujung tombak kebangkitan budaya dan politik bangsa Indonesia pada awal abad ke 20, serta dalam upaya memerdekakan bangsa ini di pertengahan abad 20.
Sebagai kelompok etnis kecil yang hanya kurang dari 3% dari jumlah bangsa ini, peran kunci yang dilakukan oleh sejumlah tokoh besar dan elit pemimpin berbudaya asal Minangkabau telah membuat ”Urang Awak” terwakili-lebih (”over-represented”) di dalam kancah perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia ini.

Alhamdulillah, Minangkabau sebagai kelompok etnis kecil pernah berada di puncak piramida bangsa ini (”the pinnacle of the country’s culture, politics and economics”). Putera-puteri terbaik berasal dari budaya Minangkabau pernah menjadi pembawa obor peradaban (”suluah bendang”) bangsa Indonesia ini.

ABS-SBK merupakan landasan yang memberikan lingkungan sosial budaya yang melahirkan kelompok signifikan manusia unggul dan tercerahkan, menjadi asas pembinaan ”anak nagari” yang ditumbuh-kembangkan menjadi ”nan mambangkik batang tarandam, nan pandai manapiak mato padang, nan bagak manantang mato ari, nan abeh malawan dunia urang, dan di akhiraik beko masuak Sarugo ”.

Namun, ketika ”jalan lah di alieh urang lalu” dan di masa ”lupo kacang di kuliknyo”, adat dan syaraak mulai dikucawaikan, maka bagian peran yang berada di tangan etnis Minangkabau nyaris tak terdengar. Para penghulu ninik mamak, para ulama suluh bendang, dan para cerdik cendekia, menjadi sasaran keluhan dan pertanyaan umat banyak.

Maka dapat dinyatakan bahwa Masyarakat Minangkabau (dahulu itu, 1800-1950) merupakan salah contoh dari Masyarakat Madani Yang Beradat dan Beradab.


VI. MASYARAKAT BER-ADAT YANG BERADAB HANYA MUNGKIN JIKA DILANDASI KITABULLAH

Secara jujur, kita harus mengakui bahwa adat tidak mungkin lenyap, manakala orang Minangkabau memahami dan mengamalkan fatwa adatnya. “Kayu pulai di Koto alam, batangnyo sandi ba sandi, Jikok pandai kito di alam, patah tumbuah hilang baganti”.
Secara alamiah (natuurwet) adat itu akan selalu ada dalam prinsip. Jika patah akan tumbuh (maknanya hidup dan dinamis), mengikuti perputaran masa yang tidak mengenal kosong. Setiap kekosongan akan selalu terisi, dengan dinamika akal dan kekuatan ilmu (raso jo pareso). Diperkuat sendi keyakinan akidah tauhid, bahwa yang hilang akan berganti. Apa yang ada di tangan kita akan habis, apa yang ada di sisi Allah akan kekal abadi.

Di sini kita menemui kearifan menangkap perubahan yang terjadi, “sakali aie gadang, sakali tapian baralieh, sakali tahun baganti, sakali musim bakisa”. Setiap perubahan tidak akan mengganti sifat adat, selama adat itu berjalan dengan aturan Allah SWT. Penampilan adat di alam nyata mengikut zaman dan waktu. “Kalau d balun sabalun kuku, kalau dikambang saleba alam, walau sagadang biji labu, bumi jo langit ado di dalam”.

Keistimewaan adat di Minangkabau ada pada falsafah adat mencakup isi yang luas. Ibarat tampang manakala ditanam, dipelihara, tumbuh dengan baik, semua bagiannya (urat, batang, kulit, ranting, dahan, pucuk, yang melahirkan generasi baru pula, menjadi satu kesatuan besar, manakala terletak pada tempat dan waktu yang tepat.
Perputaran harmonis dalam “patah tumbuh hilang berganti”, menjadi sempurna dalam “adat di pakai baru, kain dipakai usang”. Adat adalah aturan satu suku bangsa. Menjadi pagar keluhuran tata nilai yang dipusakai. Bertanggungjawab penuh menjaga diri dan masyarakat kini, jikalau tetap dipakai, dan akan mengawal generasi yang akan datang.

Dengan diterima dan dilaksanakannya adagium Adat Basandi Syarak Syarak, dan Syarak Bansandi Kitabullah (ABS-SBK) maka tali hubungan antara Adat Sebagai Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan itu dibuhul-eratkan kembali dengan Nan Sabana-bana Nan Bana, Nan Sabana-bana Badiri Sandirinyo.

Rarak kalikih dek mindalu, tumbuah sarumpun jo sikasek, Kok hilang raso jo malu, bak kayu lungga pangabek, dan Nak urang Koto Hilalang, nak lalu ka Pakan Baso, malu jo sopan kalau lah hilang, habihlah raso jo pareso.

Membina masyarakat dengan memahamkan adat, yang menjangkau pikiran dan rasa yang dipunyai setiap diri, kemudian di bimbing oleh agama yang mengisi keyakinan sahih (Islam), menanam rasa malu (haya’), raso dan pareso, iman kepada Allah, yakin kepada hari akhirat.

Mengenali hidup akan mati, memancangkan benteng aqidah (tauhid) dari rumah tangga dan lingkungan (surau) menjadi gerakan mencerdaskan umat, sesuai pantun adat di Minangkabau,

“Indak nan merah pado kundi, indak nan bulek pado sago, Indak nan indah pado budi, indak nan indah pado baso”,

“Anak ikan dimakan ikan, gadang di tabek anak tanggiri, ameh bukan pangkaik pun bukan, budi sabuah nan di haragoi”,

“Dulang ameh baok ba –laia, batang bodi baok pananti, utang ameh buliah di baie, utang budi di baok mati”,

“Pucuak pauh sadang tajelo, panjuluak bungo galundi, Nak jauah silang sangketo, Pahaluih baso jo basi”,

“Anjalai tumbuah di munggu, sugi-sugi di rumpun padi, nak pandai rajin baguru, nak tinggi naiakkan budi”.


Dengan mengamalkan Firman Allah:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Tidak sepatutnya bagi orang Mukmin itu pergi semuanya kemedan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam ilmu pengetahuan mereka tentang agama (syariat, syarak) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya (dengan cara-cara mengamalkannya pada setiap perilaku dan tindakan dengan kehidupan beradat), apabila mereka telah kembali kepadanya – kekampung halamannya --, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS.IX, at Taubah, ayat 122).

Alangkah indahnya satu masyarakat yang memiliki adat yang kokoh dan agama (syarak) yang kuat. Tidak bertentangan satu dan lainnya, malahan yang satu bersendikan yang lainnya. Di mana dalam PDPH hidup mengamalkan “kokgadang indak malendo, kok cadiek indak manjua, tibo di kaba baik baimbauan, tibo di kaba buruak ba hambauan”.


Alangkah indahnya masyarakat yang hidup dalam rahmat kekeluargaan kekerabatan dengan benteng aqidah yang kuat, berusaha baik di dunia fana dan membawa amal shaleh kealam baqa. Labuah nan pasa terbentang panjang, tepian tempat mandi terberai (terserak dan terdapat) di mana-mana, gelanggang untuk yang muda-muda serta tempat sang juara (yang mempunyai keahlian, prestasi) dapat mengadu ketangkasan secara sportif berdasarkan adat main “kalah menang” (rules of game).

Masyarakatnya hidup aman dan makmur, dengan anugerah alam dan minat seni yang indah.
“Rumah gadang basandi batu, atok ijuak dindiang ba ukie, cando bintangnyobakilatan, tunggak gaharu lantai candano, taralinyo gadiang balariak, bubungan burak katabang, paran gambaran ula ngiang, bagaluik rupo ukie Cino, batatah dengan aie ameh, salo manyalo aie perak, tuturan kuro bajuntai, anjuang batingkek ba alun-alun, paranginan puti di sinan ,
Lumbuang baririk di halaman, rangkiang tujuah sa jaja, sabuah si Bayau-bayau, panenggang anak dagang lalu, sabuah si Tinjau Lauik, panengggang anak korong kampuang, birawari lumbuang nan banyak, makanan anak kamanakan”.

Artinya, ada perpaduan ilmu rancang, seni ukir, budaya, material, mutu, keyakinan agama yang menjadi dasar rancang bangun berkualitas punya dasar social, cita-cita keperibadian, masyarakat dan idea ekonomi yang tidak mementingkan nafsi-nafsi, tapi memperhatikan pula ibnusabil (musafir, anak dagang lalu) dan anak kemenakan di korong kampung, “nan elok di pakai, nan buruak di buang, usang-usang di pabaharui, lapuak-lapuak di kajangi”, maknanya sangat selektif dan moderat.

Akhlak karimah mesti berperan dalam kehidupan yang mengutamakan kesopanan pergaulan dan memakaikan rasa malu. Apabila malu sudah hilang, tidak ada lagi yang mengikat seseorang untuk berbuat seenak hatinya.
Sebagai disebutkan dalam pepatah, malu jo sopan kalau lah hilang, habihlah raso jo pareso. Itu yang mestinya tampak di dalam Masyarakat Minangkabau ketika menerapkan ABS-SBK secara “murni dan konsekwen”.

Walau berada dalam lingkungan nasional dan internasional yang sulit penuh tantangan, sejak zaman kolonialisme hingga ke masa perjuangan melawan penjajahan, budaya Minangkabau yang berazaskan ABS-SBK telah terbukti mampu menciptakan lingkungan yang menghasilkan jumlah yang signifikan tokoh-tokoh yang menjadi pembawa obor peradaban di kawasan ini.

ABS-SBK sekarang menjadi konsep dasar Adat (Adat Nan Sabana Adat) diungkapkan, antara lain lewat Bahasa, yang direkam sebagai Kato Pusako. ABS SBK memengaruhi sikap umum dan tata-cara pergaulan masyarakat.

Rentang sejarah itu membuktikan bahwa penerapan ABS-SBK telah memberikan lingkungan sosial budaya yang subur bagi seluruh anggota masyarakat dalam mengembangkan segenap potensi dan kreativitasnya sehingga terciptalah manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan.



VII. KRISIS BUDAYA MINANGKABAU MERUPAKAN MINIATUR DARI KRISIS PERADABAN MANUSIA ABAD MUTAKKHIR

Budaya Minangkabau memang mengalami krisis, karena lebih dari setengah abad terakhir ini tidak melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki peran sentral di dalam berbagai segi kehidupan di tataran nasional apatah lagi di tataran kawasan dan tataran global. Budaya Minangkabau selama setengah abad terakhir ini gagal membentuk lingkungan sosial ekonomi yang subur bagi persemaian manusia serta masyarakat unggul dan tercerahkan.

Dalam satu sudut pandang, krisis budaya Minangkabau menggambarkan krisis yang dihadapi Ummat Manusia pada Alaf atau Millennium ke Tiga ini. Salah satu isu yang menjadi kehebohan Dunia akhir-akhir ini adalah isu Perubahan Iklim (“Climate Change”).

Perubahan Iklim telah dirasakan sebagai ancaman serius bagi keberlanjutan keberadaan Umat Manusia di bumi yang hanya satu ini. Perubahan iklim disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia yang memengaruhi lingkungan sedemikian rupa sehingga mengurangi daya-dukungya sebagai tempat hidup dan sumber kehidupan manusia.

Kemajuan ilmu yang dapat dianggap sebagai “Peta Alam Terkembang” telah menambah pemahaman manusia akan bagaimana bekerjanya alam semesta ini, sehingga “manusia mampu menguasai alam”.

Penerapan ilmu dalam berbagai teknologi telah meningkatkan kemampuan manusia untuk memanfaatkan alam sesuai berbagai keinginan manusia. Terjadinya Perubahan Iklim menunjukkan bahwa “penguasaan manusia terhadap alam lingkungan” telah menyebabkan perubahan yang tidak dapat balik (“irreversible”) terhadap alam itu sendiri.
Dan ternyata, Perubahan Iklim sangat mungkin mengancam keberadaan manusia di muka bumi ini.

Dari sisi kemanusiaan, ada beberapa kemungkinan penyebab. Kemungkinan pertama, Ilmu sebagai Peta Alam Terkembang ternyata tidak sama dengan Realitas Di Alam Nyata.

Artinya ada “batas Ilmu”, yaitu wilayah di mana “ignora mus et ignozabi mus”, kita manusia tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu atau memiliki ilmu tentang itu.
Kemungkinan kedua, para ilmuwan telah “lebih dahulu memahami apa yang bakal terjadi”, namun tidak memiliki ilmu yang dapat diterapkan untuk merubah perilaku manusia dan masyarakat.

Jadi, Peta Ilmuwan tentang Manusia dan Masyarakat tidak sama dengan Realitas Di Dalam Diri Manusia Dan Masyarakat. Singkat kata, apa yang ada dalam benak manusia moderen (baik ilmu maupun isme-isme) yang menjadi kesadaran kolektif yang secara keseluruhan membentuk Pandangan Dunia dan Pandang Hidup (PDPH), ternyata tidak sama sebangun dengan Realitas.


Ketika PDHP itu menjadi acuan perilaku serta kegiatan perorangan dan bersama-sama, tentu saja dan pasti telah membawa kepada bencana, antara lain, berupa Perubahan Iklim yang kemungkinan besar tidak dapat balik itu.

Manusia moderen sangat berbangga dengan berbagai isme-isme yang dikembangkannya serta meyakini kebenarannya di dalam memahami manusia serta mengatur kehidupan bersama di dalam masyarakat.

Kapitalisme, liberalisme dan isme-isme lain telah menjadi semacam berhala yang dipuja serta diterapkan dalam kehidupan masyarakat di kebanyakan belahan Dunia. Hasil penerapan isme-isme itulah yang sekarang memicu berbagai krisis global di Alaf Ketiga ini.

Jika kita merujuk kepada Kitabullah, yaitu Al-Qur’an, kita akan menemukan gejala dan sebab-sebab dari Perubahan Iklim yang mendera Umat Manusia.
Salah satu ayat Al-Qur’an menyatakan,
“.....Telah menyebar kerusakan di muka bumi akibat ulah manusia”.

Perilaku manusia lah penyebab semua kerusakan itu.
Penyebab perilaku merusak manusia ialah penerapan isme-isme yang ternyata tidak memiliki hubungan satu-satu dengan kenyataan di alam semesta termasuk di dalam diri manusia dan masyarakat.

Kitabullah yang menjadi landasan dari syarak mangato adat memakai, menjelaskan tentang penghormatan terhadap perbedaan itu,

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berkabilah-kabilah (bangsa-bangsa)dan berpuak-puak (suku-suku) supaya kamu saling kenal mengenal …”, (QS.49, al Hujurat : 13).

Apabila anak nagari di biarkan terlena dengan apa yang dibuat orang lain, dan lupa membenah diri dan kekuatan ijtima’i (kebersamaan), tentulah umat ini akan di jadikan jarum kelindan oleh orang lain di dalam satu pertarungan gazwul fikri.

“Pariangan manjadi tampuak tangkai, Pagarruyuang pusek Tanah Data, Tigo Luhak rang mangatokan. Adat jo syarak jiko bacarai, bakeh bagantuang nan lah sakah, tampek bapijak nan lah taban”.

Apabila kedua sarana ini berperan sempurna, maka di kelilingnya tampil kehidupan masyarakat yang berakhlaq perangai terpuji dan mulia (akhlaqul-karimah) itu.

“Tasindorong jajak manurun, tatukiak jajak mandaki, adaik jo syarak kok tasusun, bumi sanang padi manjadi”.

Kekuatan tamaddun dan tadhamun (budaya) dari syarak (Islam) menjadi rujukan pemikiran, pola tindakan masyarakat berbudaya yang terbimbing dengan sikap tauhid (aqidah kokoh), kesabaran (teguh sikap jiwa) yang konsisten, keikhlasan (motivasi amal ikhtiar), tawakkal (penyerahan diri secara bulat) kepada kekuasaan Allah yang jadi ciri utama (sibghah, identitas) iman dan takwa secara nyata yang memiliki relevansi diperlukan setiap masa, dalam menata sisi-sisi kehidupan kini dan masa depan.

Suatu individu atau kelompok masyarakat yang kehilangan pegangan hidup (aqidah dan adat), walau secara lahiriyah kaya materi namun miskin mental spiritual, akan terperosok kedalam tingkah laku yang menghancurkan nilai fithrah itu.

Satu ayat dalam Al-Qur’an Surat 12, Yusuf , Ayat 40, sebagai berikut,
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS 12, Yusuf : 40).

Manusia memiliki kemampuan terbatas untuk menguji kesebangunan antara apa yang ada dalam pikirannya dengan apa yang sesungguhnya ada dalam Realitas. Isme-isme itu serta keyakinan berlebihan akan keampuhan hasil pemikiran manusia hanyalah sekadar ” nama-nama yang dibuat-buat saja” atau sama dengan khayalan manusia saja. Dan, disebutkan dalam Al-Quran bahwa jenis manusia yang demikian telah “mempertuhan diri dan hawa nafsunya”.

Dengan keterbatasan itu bagaimana manusia mungkin meneruka jalan keselamatan di alam semesta, paling tidak dalam menjalani kehidupan di Dunia ini.

Keutusan Rasul SAW dengan membawa Kitab Suci, yang paling terakhir Al Qur’an, adalah Peta Realitas serta Petunjuk dan Pedoman Hidup Bagi Manusia Dan Penjabaran Rinci Dan Jelas Dari Pedoman Serta Tolok Ukur Kebenaran dalam menjalani hidup di bumi yang fana ini.

Simpulannya, krisis global yang dihadapi manusia moderen disebabkan karena kebanyakan mereka mempercayai apa yang tidak layak diyakini berupa isme-isme, karena kebanyakanmya telah menjauh dari agama langit, bahkan dari konsep-konsep agama itu sendiri, dalam pikiran apalagi dalam perbuatan dan kegiatan mereka.

Jika dikaitkan dengan kondisi dan situasi masyarakat Minangkabau di abad ke 21 ini, mungkin telah ada jarak yang cukup jauh antara ABS-SBK sebagai konsep PDPH (Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup) dengan kenyataan kehidupan sehari-hari.


Asumsi atau dugaan ini menjadi penjelas serta alasan kenapa budaya Minangkabau selama setengah abad terakhir ini gagal membentuk lingkungan sosial ekonomi yang subur bagi persemaian manusia serta masyarakat unggul dan tercerahkan



VIII. SIMPULAN-SIMPULAN :

Masyarakat Unggul dan Tercerahkan Mampu Dicetak Menjadi SDM yang disebut “Ulul Albaab” dengan Menanamkan Nilai-Nilai Ajaran Islam dan Adat Budaya, khusus bagi Masyarakat Adat Minangkabau serta digali dari Al-Qur’an, para “Ulul Albaab”, disebutkan dalam Surat Ali Imran, Surat ke 3, Ayat 190 s/d 194.

Bagi para “uluul albaab” seluruh gejala di alam semesta ini merupakan tanda-tanda. Tanda-tanda merupakan sesuatu yang merujuk kepada yang lain di luar dirinya.

Menjadikan gejala sebagai tanda berarti membuat makna yang berada disebalik tanda itu. Proses menjawab pertanyaan itu disebut berpikir yang terarah. Hasil berpikir adalah pikiran tentang sebagian dari kenyataan. Dengan perkataan berpikir akan menghasilkan semacam “peta bagian kenyataan” yang dipikirkan.

Hikmah yang dikandung Al-Qur’an hanya dipahami oleh “ulul albaab” yaitu mereka yang mau berpikir dan merenungkan secara meluas, mendalam tentang apa yang perlu dan patut dipahami dengan maksud agar mengerucut kepada beberapa simpulan kunci.
Para “ulul albaab” adalah mereka yang unggul dan tercerahkan, yang di dalam dirinya zikir dan fikir menyatu.

Zikir disini harus dipahami lebih luas sebagai hidup dengan penuh kesadaran akan keberadaan Allah s.w.t dengan segenap aspek hubungan-Nya dengan manusia dan segenap makhluk Ciptaan-Nya.

Fikir berarti membuat Peta Kenyataan sesuai dengan Petunjuk dan Ajaran Allah s.w.t. sebagaimana diurai-jelaskan oleh Al-Qur’an serta ditafsirkan dan diterapkan oleh Rasullullah lewat Sunnahnya sebagai Teladan Utama (Uswatun Hasanah).

Simpulannya, penerapan ABS-SBK mengharuskan kehidupan perorangan serta pergaulan masyarakat Minangkabau berakar dari dan berpedoman kepada Al-Quran serta Sunnah Rasullullah.


Hanya dengan demikianlah, ABS-SBK dapat membentuk lingkungan sosial-budaya yang akan mampu menghasilkan manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan yang berintikan para “ulul albaab” sebagai tokoh dan pimpinan masyarakat. Manusia seperti itulah barangkali yang dimaksudkan oleh Kato Pusako “Nan Pandai Manapiak Mato Padang, Nan Indak Takuik Manantang Matoari, Nan Dapek Malawan Dunia Urang, Sarato Di Akhiraik Beko Masuak Sarugo“.

Kekuatan moral yang dimiliki, ialah menanamkan "nawaitu" dalam diri masing-masing, untuk membina umat dalam masyarakat di nagari harus mengetahui kekuatan-kekuatan yang dipunyai.

“Latiak-latiak tabang ka Pinang, Hinggok di Pinang duo-duo,
Satitiak aie dalam piriang, Sinan bamain ikan rayo”.

“Panggiriak pisau sirauik, Patungkek batang lintabuang, Satitiak jadikan lauik,
Sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan guru ” .


Melaksanakan ABSSBK adalah melahirkan sikap cinta ke nagari, yang menjadi perekat pengalaman sejarah. Menumbuhkan sikap positif menjaga batas-batas patut dan pantas. Membentuk umat yang kuat dengan sehat fisik, sehat jiwa, sehat pemikiran, dan sehat social, ekonomi, konstruktif (makruf).


Wassalamu ‘alaikum Wa Rahmatullahi Wa barakatuh,


Daftar Pustaka Tambahan Rujukan ;
1. Al Quranul Karim,
2. Al-Ghazali, Majmu’ Al-Rasail, Beirut, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1986,
3. Al-Falimbangi, ‘Abd al-Samad, Siyarus-Salikin,
4. Ibn ‘Ajibah, Iqaz al-Himam,
5. Lu’Lu’wa al-Marjan, hadist-hadis riwayat Bukhari, Muslim, Tarmizi dan Nasa^i.
6. Sa’id Hawa, Tarbiyatuna Al-Ruhiyah,
7. Sahih al-Bukhari, Kitab al-Da’awat,
8. Christine Dobbin, “Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784-1847”, ISBN 979-3731-26-5, Edisi Indonesia, Komunitas Bambu, Jakarta, Maret 2008
9. Sorokin, Pitirim, “The Basic Trends of Our Time”, New Haven, College & University Press, 1964, hal.17-18.