Sabtu, 20 September 2008

Pikiran Rosihan Anwar yang bernas ...MENOLAK JADI PAHLAWAN NASIONAL.

Oleh Rosihan Anwar
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/19/02054534/menolak.jadi.pahlawan.n
asional

Seminar berjudul "Kontribusi Ahmad Subardjo dalam Diplomasi Penegak
Kemerdekaan Indonesia" diselenggarakan atas prakarsa Menteri Luar
Negeri Hassan Wirajuda tanggal 25 Juli 2008 di Gedung Deplu. Saya
hadir karena diundang. Saya kira akan mendengarkan suatu pertukaran
pikiran akademik. Saya terheran-heran. Ternyata tujuan seminar
mengumpulkan bahan-bahan pendukung bagi usulan, supaya Ahmad Subardjo,
Menlu pertama RI, dijadikan Pahlawan Nasional.

Dua narasumber menguraikan tentang makna dan siapa pahlawan dan
tantang tolok ukur yang dipakai oleh Departemen Sosial untuk
menentukan seseorang menjadi Pahlawan Nasional. Menurut moderator,
perbincangan di luar bidang tadi supaya dihindarkan. Saya merasa diri
digiring atau railroaded ke satu sasaran: Ahmad Subardjo Pahlawan
Nasional.

Saya kehilangan minat mengikuti pertanyaan atau komentar dari pihak
hadirin. Eh, moderator (dari Deplu) meminta saya ikut berbicara selaku
"pelaku sejarah", katanya.

Kalimat-pemuka yang saya utarakan adalah jelas dan lantang, yaitu saya
mendukung tanpa ragu-ragu Bapak Ahmad Subardjo menjadi Pahlawan
Nasional. Namun, saya tambahkan dengan catatan: Kita harus jujur
terhadap diri sendiri, jujur terhadap kebenaran, jujur terhadap fakta
sejarah.

Sebelumnya dari floor ada yang menanyakan tentang Alimin (tokoh PKI)
sebagai Pahlawan Nasional agar gelarnya itu dicabut. Dari pihak
narasumber diberi keterangan bahwa Presiden Soeharto menolak
dicabutnya gelar itu dengan alasan itu adalah keputusan Presiden
sebagai sebuah lembaga. Maka, dalam konteks ini saya paparkan secara
ringkas fakta sejarah berikut.

Ahmad Subardjo terlibat dalam peristiwa 3 Juli 1946 di Yogyakarta (ini
suatu putsch atau upaya merebut kekuasaan dari pemerintah), ditahan
bersama Tan Malaka, pemimpin Persatuan Perjuangan di Tawangmangu. Tan
Malaka kemudian dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional, suatu keputusan
yang tepat. Akan tetapi, jika begitu halnya, jangan kita memakai
ukuran ganda atau double standard. Alimin dan Tan Malaka sudah
Pahlawan Nasional, nanti mudah-mudahan Ahmad Subardjo. Maka, mengapa
tidak juga mengusulkan sebagai Pahlawan Nasional tokoh-tokoh seperti
Mohammad Natsir, Syafrudin Prawiranegara, atau Amir Sjarifoeddin?
Orang-orang ini adalah pejuang kemerdekaan dari jam-jam pertama
revolusi. Mereka sama sekali tidak kurang dari Anak Agung Gde Agung
yang jadi Pahlawan Nasional tahun lalu. Karena Natsir dan Syafrudin
terlibat dalam gerakan PRRI-Permesta? Karena Amir Sjarifoeddin ikut
dengan PKI-Musso di Madiun?

Pikirkanlah itu. Mari kita jujur terhadap diri sendiri, kebenaran
fakta sejarah. Jangan tinggal beku dalam ketentuan aturan-aturan
birokrasi. Sebab ini soal yang cair mengalir, fluid, suatu proses
sejarah yang bisa dan harus menanggapi perubahan tolok ukur, nilai
serta paradigma.

Sebuah renungan

Seusai seminar yang tampaknya memuaskan pihak penyelenggara dari pihak
narasumber disampaikan kepada saya dengan santun bahwa apa yang telah
saya ucapkan adalah "suara PSI". Saya diam. Saya cuma bertanya pada
diri sendiri argumen macam apa itu? PSI atau Partai Sosialis Indonesia
telah dilarang dan dibubarkan oleh Presiden Soekarno medio 1960.
Keterangan saya tadi bersifat personal. Saya bukan anggota terdaftar
PSI, tetapi saya akui saya pengikut Sjahrir dan habitat saya adalah
lingkungan sosdem alias sosialis-demokrat. Sekali lagi saya tegaskan,
saya mendukung Ahmad Subardjo sebagai Pahlawan Nasional.

Ny Mien Soedarpo yang duduk di samping saya bertanya, apa untungnya
jadi Pahlawan Nasional? Saya jawab tidak ada kalau dari sudut materi
keuangan. Pahlawan Nasional tidak mendapat tunjangan tetap tiap bulan.
Gelar itu hanya demi kehormatan.

Saya merenung, andaikata saya diusulkan jadi Pahlawan Nasional, saya
akan menolak. Buat apa jadi Pahlawan Nasional? Namun, apabila saya
diminta jadi capres yang bertanding dalam Pilpres 2009, saya pasti
dengan penuh syahwat menjawab: Mau, mau. Cuma saya sudah berusia 86
tahun plus, artinya tokoh tua, stok lama, tidak punya "gizi",
bagaimana bisa mengiklankan diri dan menebar citra? Parpol mana mau
mengusung saya.

Untung saya tidak bisa bertanding, tak punya electability, derajat
keterpilihan. Sebab, lawan-lawan capres yang harus saya hadapi adalah
hebat. Bayangkan, SBY, JK, Megawati, Wiranto, Sutiyoso, Sutrisno
Bachir, Prabowo, Hidayat Nur Wahid, dan Rizal Ramli. Bayangkan capres
tokoh muda Ch airul Tanjung, Anies Baswedan, Yenni Wahid, Roy Sembel,
Yuddy Chrisnandi, dan Pramono Anung. Belum lagi Rizal Mallarangeng,
Fadjlur Rachman, Ratna Sarumpaet, you name it. Saya pasti dikalahkan
mereka.

Maka, yang tinggal pada diriku cuma suatu roh, suatu soul yang telah
ditetapkan akan terus mengejar terlaksananya impian Indonesia, The
Indonesian Dream.

Rosihan Anwar, Wartawan Senior

Tawadhu', Sifat Ibadurrahman yang utama

Tawadhu’, Sifat Ibadurrahman yang utama

Oleh Buya H Mas’oed Abidin



Sifat Ibadurrahman yang pertama diungkapkan oleh Al Qur’an adalah tidak sombong. Mereka senantiasa berjalan di muka bumi dalam keadaan rendah hati dan penuh tawadhu’.

Rendah hati atau tawadhu’ adalah sikap lemah lembut, tidak congkak dan pongah. Mereka senantiasa berjalan dengan penuh kewibawaan dan kehormatan Hamba Allah yang terpuji itu tidak menghiasi diri dengan sikap sombong dan jauh dari sikap takabur. Hamba Allah yang terpuji itu tidak merasa lebih tinggi dari siapapun, dan mereka sadar bahwa mereka adalah hamba Allah yang semestinya tidak angkuh dan tidak pula ujub atau membanggakan diri sendiri.



Berjalan di muka bumi dengan rendah hati bukan berarti berjalan dengan cara membungkuk-bungkuk seperti orang sakit pinggang Sama sekali tidak. Karena baginda Rasulullah SAW tidak pernah berbuat seperti itu, begitu pula para sahabat sesudah beliau.

Sahabat Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhahu radhiallahu anhu meriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, bahwa Rasulullah ketika berjalan tampak badan beliau bergerak-gerak seperti sedang menempuh jalan menurun. Ini merupakan jalannya orang-orang yang penuh semangat dan pemberani. Ibnul Qayyim di dalam Zadul Ma’ad menyebutkan juga begitu.

Abu Hurairah pernah pula berkata, “Aku tidak melihat sesuatu pun yang lebih bagus dari pada Rasulullah SAW. Seolah-oleh matahari berjalan di muka beliau. Aku juga tidak melihat seseorang yang lebih baik jalannya daripada jalan beliau, seakan-akan bumi menjadi turun di hadapan beliau. Kami sudah berusaha menyeimbangi beliau, tapi beliau seperti tidak peduli.”

Rasulullah tidak berjalan seperti orang sakit atau lamban. Maksud cepat di sini bukan berarti berjalan dengan tergesa-gesa yang mengabaikan kewibawaan. Beliau tidak berjalan terlalu cepat, tetapi sederhana. Artinya sedang-sedang saja, tidak terlalu cepat tidak terlalu lambat, sesuai dengan perawakan, umur dan kemampuan.

Rasulullah SAW dan juga para sahabat beliau telah menyontohkan kepada kita sikap tawadhu’ yang pada dasarnya adalah salah satu landasan sikap dan akhlak Qurani.

Sikap tawadhu’ adalah sikap menghormati setiap orang, bahkan semua makhluk yang melata di muka bumi. Tidak memandang enteng semua orang. Penyantun dan penyabar. Memuliakan pergaulan. Tawadhu’ dirasakan oleh semua orang yang ditemui dalam perjalanan hidupnya.

Kitab Muzakarah fi manazili as Shiddiqin wa ar Rabbaniyyin; min khilali an Nushus wa Hikam Ibnu ‘Athaillah Sakandary karya Syaikh Sa’id Hawwa mengungkapkan satu kata hikmah. “Barangsiapa yang beranggapan bahwa dirinya tawadhu’ pada hakikatnya dia orang-orang yang sombong, sebab anggapan tawadhu’ seperti ini tidak timbul kecuali lantaran rasa tinggi diri atau tinggi hati. Karena itu, jika engkau beranggapan bahwa dirimu telah tawadhu’ sebenarnya engkau adalah orang yang takabur (sombong).”

Kata hikmah ini mengungkapkan bahwa sikap tawadhu’ adalah sikap yang lahir karena semata mengharapkan redha Allah, bukan lahir karena mengharap pujian manusia. Allahu A’lam Bi As Shawab



Pandai Bergaul Sesama Manusia

Pandai Bergaul sesama Manusia.

Oleh Buya H Mas’oed Abidin

Di antara sifat Ibadurrahman adalah Murah Hati dan Kaya Kalbu ketika bergaul sesama manusia. Tidak pernah menganggap rendah orang jahil dan bodoh. Sifat itu disebutkan Allah SWT dalam firmanNya,


وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى اْلأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا

“… dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, maka mereka mengucapkan kata-kata yang baik (yang mengandung keselamatan),” (Q.S. Al Furqan: 63)

Mengucapkan kata-kata yang baik artinya membebaskan diri dari kata-kata yang mengandung dosa Kata-kata yang baik tidak mengandung celaan, fitnah dan rasa dendam. Seseorang yang mempunyai murah hati, tidak mudah membalas keburukan dengan keburukan yang sama, meskipun itu sanggup dia lakukan Walaupun dia sebenarnya mempunyai hak untuk membalasnya. Allah SWT memuji sikap itu di dalam firman Nya,

وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلامٌ عَلَيْكُمْ لا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling dari padanya dan mereka berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang yang jahil.” (Q.S Al-Qashash: 55)

Ketika orang-orang jahil menyapa, maka Ibadurrahman mengucapkan perkataan yang baik Ibadurrahman tidak melumuri lidahnya dengan kata-kata yang sia-sia Mereka tidak meladeni dengan kata-kata carut marut dan selalu menghindar darinya.


Ibadurrahman tidak mau waktu mereka terbuang untuk melayani sesuatu yang tidak bermanfaat. Ibadarurrahman senantiasa menjaga lidah, waktu dan umur Mereka melindungi catatan kebaikan yang sudah ada dan menambah selalu dengan kebaikan-kebaikan yang lain.

Hamba Allah yang terpuji selalu menghindari keburukan di mana jua mereka berada. Memang tidaklah sama yang buruk dengan yang baik. Begitu Allah SWT menyebut di dalam firman Nya.

وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q.S. Fushilat: 34)



Nabi Isa alahis-salam pernah berjalan melewati sekumpulan orang-orang Yahudi yang melontarkan kata-kata tidak senonoh kepada beliau. Beliau berupaya menanggapi perkataan mereka dengan kebaikan.

Ketika itu, ada beberapa bertanya kepada beliau, “Orang-orang itu telah melontarkan kata-kata tidak senonoh kepadamu, namun engkau justru mengatakan yang baik kepada mereka.” Beliau menjawab, “Segala sesuatu keluar dari apa yang ada di dalamnya.” Kalimat hikmah ini memiliki arti yang cukup dalam. Bahwa kalimat yang diucapkan seseorang memberi gambaran tentang kualitas diri orang yang berkata itu.




Anas bin Malik radhiallahu-anhu pernah berkata; “Jika ada yang mengucapkan kata-kata kasar kepadamu, misalnya dengan ungkapan, “Wahai orang zalim, fasik, pendusta, pembohong”, atau kata-kata lain yang tidak senonoh, maka hadapilah ia dengan berkata, “Kalau memang engkau berkata bahwa aku ini seperti yang engkau katakan, semoga Allah mengampuni kesalahanku. Jika engkau dusta atau mengada-ada atau memfitnah dengan kata-katamu itu, semoga Allah mengampuni kedustaanmu.”

Sebuah ungkapan bijak, bagaimana perkataan dapat meredam terjadinya pertengkaran. Di saat sekarang ini, rasanya sudah semakin langka didapai orang yang mampu berkata lemah lembut, dengan kaya perbendaharaan kalbu dan murah hati.

Minggu, 14 September 2008

BERDEMOKRASI DENGAN AKHLAK MULIA

BERDEMOKRASI DENGAN AKHLAK MULIA
OLEH : H. MAS’OED ABIDIN

Pejuang-pejuang demokrasi yang beriman memahami betul bahwa demokrasi di negeri ini tidak akan pernah ujud bila tidak disertai dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada ajaran Agama, dan atau menghargai ajaran Agama yang berarti melahirkan rasa tanggung jawab dengan berakhlaq mulia.

Apabila akhlaq agama sengaja dilupakan maka demokrasi pasti tidak akan berjalan baik.

Demokrasi tanpa akhlaq memberi kesempatan terbukanya pintu anarkis dan pemaksaan kehendak, dan ujung-ujungnya melahirkan tindakan-tindakan anarkis, dan bencana akan dituai sesudahnya.



Idaman masyarakat banyak untuk merasakan ketenteraman dan kesejahteraan hanyalah menjadi mimpi belaka.

Ketika umat terbangun dari lelapnya, yang tersua hanyalah derita dan nestapa, karena dua kelompok pengayom yang menduduki posisi penguasa dan pengusaha berubah menjadi penindas dan penghisap, dan para cerdik cendekia yang alim telah menjadi penghasut.

Dalam satu sabda Rasulullah SAW ditemui sebuah peringatan antara lain : “Ada dua kelompok dari umat-ku, kalau keduanya baik Umat seluruhnya menjadi baik, dan kalau ke duanya jahat umat seluruhnya jadi binasa.



Mereka ialah Ulama dan ‘Umara”.

Dari hadist lain Rasulullah bersabda pula “Apabila Umara dan penguasa-penguasa kamu terdiri dari orang-orang baik, dan hartawan (ekonom-ekonom) kamu terdiri dari orang-orang pemurah, dan segala persoalan kemasyarakatan kamu pecahkan secara musyawarah atau demokratis, maka hidup di muka bumi tanah airmu sungguh indah dari pada mati berkalang tanah”.

Ketika substansi musyawarah telah hilang, maka rakyat jelata akan terpaksa memikul beban berat di pundaknya, dan rakyat kecil di bawah akan dijadikan tunggangan untuk meraih kedudukan semata.

Kondisi buruk ini pernah dialami dalam dasawarsa panjang, di bawah pengekangan-pengekangan dan kepentingan-kepentingan.

Konsep demokrasi sebenarnya adalah musyawarah menetapkan satu pilihan, demi kemashlahatan umat banyak, dan terciptanya kesejahteraan orang banyak.



Perjuangan demokrasi yang adil bertujuan agar kemiskinan tidak lagi menjadi pakaian banyak orang, karena senyatanya masyarakat yang larat melarat akan sangat mudah untuk di tunggangi.

Maka, amatlah ditekankan, terutama oleh Sunnah Rasulullah dan ajaran agama, agar selalu berhati-hati dan mawas diri, agar kemelaratan tidak muncul dalam kehidupan bermasyarakat.



Umat Islam diingatkan misi penampilannya di tengah pergaulan hidup Internasional, bahwa “Tuhan telah menampilkan umat Muslimin guna membebaskan dunia dari perbudakan manusia sesame manusia kepada menyembah Allah semata, dan mengeluarkan manusia dari sempitnya dunia jahilinyah kepada keluasaan ilmu pengetahuan, dan berpindah dari kecurangan dan kepalsuan berbagai agama kepada keadilan Islam”.

Untuk itu, upaya mengujudkannya dengan mengajak umat kembali kepada ajaran akhlaq agama, dan memelihara keteguhan dalam kehidupan beradat yang luhur.



Kehati-hatian dalam memilih pemimpin menjadi sangat muthlak menjiwai setiap insan yang demokratik, karena,“… apabila Umara’ kamu terambil dari mereka yang jahat, hartawan kamu menjadi manusia bakhil penyembah harta, dan segala persoalan kemasyarakatan tidak lagi dimusyawarahkan, dan kehidupan terombang ambing dalam permainan hawa nafsu wanita yang mengendalikan dari belakang, maka dalam masyarakat yang demikian, mati berkalang tanah, lebih baik dari hidup bercermin bangkai”.

Begitulah Sabda Rasulullah SAW mengingatkan umat semua, agar selalu menjaga musyawarah dan menghindari perebutan karena hawa nafsu.

MATA RANTAI GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI MINANGKABAU

SURAU INYIK DJAMBEK, MATA RANTAI
GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM
DI MINANGKABAU
Oleh : H. Mas’oed abidin

Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh pergolakan sosial dan intelektual. Di awali dengan pulangnya tiga ulama Minangkabau selepas menuntut ilmu di Mekah, yaitu Inyik Djambek, Inyik Rasul dan Inyik Abdullah Ahmad membawa modernisasi Islam dan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani dari Mesir.

Gerakan ini tidak hanya dimotivasi oleh gerakan pembaharuan yang sudah berkembang di Mesir tapi juga oleh dorongan rivalitas terhadap golongan berpendidikan Barat yang secara material dan sosial terlihat lebih bergengsi.

Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947) , adalah seorang dari tiga ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat di awal abad ke-20, dilahirkan di Bukittinggi, yang pada mulanya dikenal sebagai Syekh Tarekat yang memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah dan seorang ahli ilmu falak terkemuka.

Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek lebih dikenal dengan sebutan Inyik Syekh Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek, yang dilahirkan dari keluarga bangsawan, dari ayah bernama Saleh Datuk Maleka, keturunan penghulu dan seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Betawi.

Semasa kecilnya, Muhammad Djamil mendapatkan pendidikan di Sekolah Rendah yang mempersiapkan pelajarnya untuk masuk ke sekolah guru (Kweekschool). Sampai usia remaja ia akrab dengan kehidupan parewa yang tidak mau mengganggu kehidupan keluarga, bergaul luas di kalangan parewa yang saling menghargai, walau senyatanya kehidupan parewa senang berjudi, menyabung ayam, namun ahli dalam pencak dan silat.

Di kala Muhammad Djamil berumur 22 tahun, mulai tertarik pelajaran agama dan bahasa Arab, dan belajar di surau Koto Mambang, di Pariaman dan di Batipuh Baruh. Ketika berusia 35 tahun (1896), ayahnya membawa ke Mekah, dan bermukim di sana selama 9 tahun mendalami ilmu agama, di bawah bimbingan guru-gurunya antara lain Taher Djalaluddin, Syekh Bafaddhal, Syekh Serawak dan Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy.
Selama berguru di Mekah, banyak ilmu yang dipelajarinya secara bertekun tentang ilmu tarekat, di Jabal Abu Qubais.

Tidak mengherankan jika dia dihormati Syekh Tarekat.
Namun, dari semua ilmu yang didalaminya dan membuatnya terkenal adalah ilmu falak, yang berguru kepada Syekh Taher Djalaluddin, dan kemudian mengajarkan ilmu falak yang dituntutnya itu, kepada masyarakat Sumatera dan Jawi yang bermukim di Mekah, terutama kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).

Pada tahun 1903, Muhammad Djamil kembali ke tanah air, dan mulai memberikan pelajaran agama secara tradisional. Banyak murid beliau dari kalangan tarekat datang menuntut ilmu. Di antara murid-muridnya menyebutnya Inyik Djambek, karena memandang beliau sangat rapi dan teratur memelihara jambang dan jenggotnya, yang dalam bahasa Minang disebut Djambek.

Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Dia mulai meninggalkan Bukittinggi dan kembali mendekati kehidupan parewa di Kamang, sebuah nagari pusat pembaruan Islam di bawah Tuanku nan Renceh pada abad ke-19. Dia mulai mendirikan dua buah surau di Tengah Sawah dan di Kamang tempat mengaji dan menyebarkan pengetahuan agama untuk meningkatkan iman.

Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Djamil Djambek kini, tidak lagi tertarik pada tarekat. Di awal 1905, berlangsung pertemuan ulama membahas keabsahan tarekat, di Bukit Surungan, Padang Panjang. Dia berada di pihak yang menentang tarekat, berhadapan dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.

Dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India, yang penuh takhayul dan khurafat, yang makin jauh dari ajaran Islam. Buku lain berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat ditulisnya untuk mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau. Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu mulai diterbitkan.

Inyik Djambek memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat, dan mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji dengan cara bertabligh, di Surau Tangah Sawah Bukittinggi yang dibangun tahun 1908 dan menjadi Surau Inyik Djambek, sampai sekarang. Agaknya inilah perubahan besar yang dibawanya dari perantauan menuntut ilmu di tanah Mekah.

Disampaikannya bahwa Islam sesuai tuntutan zaman, yang menuntut meraih kemajuan, menyuruh mencari ilmu pengetahuan, dan membangun kehidupan dunia, menghormati kedudukan perempuan, dan menjelaskan bahwa Islam adalah agama menyeluruh, yang dasar ajarannya disampaikan para nabi yang diutus kepada semua bangsa (QS. 10;47;2: 164; 35:24; 40:78). Tugas Nabi-nabi itu diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw, rasul utusan terakhir untuk seluruh umat manusia, dan para ulama berkewajiban menyampaikannya kepada umat manusia, melalui tabligh.

Syekh Muhammad Djamil Djambek berkesimpulan bahwa ajaran agama Islam itu sebaiknya disampaikan melalui tabligh dan ceramah-ceramah (wirid-wirid) yang dihadiri oleh masyarakat banyak. Perhatiannya ditujukan untuk meningkatkan iman seseorang. Ia mendapat simpati dari tokoh-tokoh ninik mamak dan kalangan guru Kweekschool. Bahkan ia mengadakan dialog dengan orang non Islam dan orang Cina.

Sifatnya yang populer ialah ia bersahabat dengan orang yang tidak menyetujui fahamnya. Suraunya merupakan tempat pertemuan bagi organisasi-organisasi Islam.
Inyik Djambek mulai aktif bertabligh dan menulis.

Pada tahun 1913, ia mendirikan organisasi bersifat sosial di Bukittinggi yang bernama Tsamaratul Ichwan yang menerbitkan buku-buku kecil dan brosur tentang pelajaran agama tanpa mencari keuntungan. Beberapa tahun ia bergerak di dalam organisasi ini sampai menjadi perusahaan yang bersifat komersial. Ketika itu, ia tidak turut lagi dalam perusahaan itu.

Akhirnya, dia sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar anak nagari tidak melaksanakan agama dengan sempurna bukan karena kurang keimanan dan ketaqwaan, tetapi karena pengetahuan mereka kurang tentang ajaran Islam itu sendiri. Dia mengecam masyarakat yang masih senang ajaran tarekat. Ia mendekati ninik mamak dan merundingkan berbagai masalah masyarakat.

Tahun 1929, Syekh Muhammad Djambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat. Dia juga aktif dalam kegiatan organisasi masyarakat.

Walaupun secara formal, dia tidak mengikat dirinya pada suatu organisasi tertentu, seperti Muhammadiyah dan Thawalib. Dia selalu memberikan dorongan pada pembaruan pemikiran Islam dengan membantu organisasi-organisasi tersebut., dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab di dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesuai panduan syarak, agama Islam, sangat ramai dibicarakan.

Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy (1855).

Beliau adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang benar-benar anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai, saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek, berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.

Baik dari pihak ibu atau pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek Koto dan Ampek Angkek, yang sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, keluarga tuanku laras, berlatar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.

Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia menamatkan pendidikan di Mekah, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri dari Syekh Shaleh al Kurdi bernama Siti Khadijah, dan semenjak itu Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah, dan tidak pernah kembali ke daerah asalnya.

Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir.

Syekh Ahmad Khatib sangat menolak dua macam kebiasaan di Minangkabau, tentang warisan dan tarekat Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus dibahasnya, diluruskannya, dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya.

Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh di surau-surau, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.

Pemikiran-pemikiran Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain, perlawanan terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi, yang adakalanya disebut kaum tua. Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu. Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau untuk memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama. Kecaman demi kecaman telah melahirkan dinamika berfikir dan mengaji, sehingga lahirlah tradisi ilmu, yang salah satu mata rantainya ada di Surau Inyik Djambek.

Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan.

Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing.

Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan kembali dalam agama.

Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam. Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid.

Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947), Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945), dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933), yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, bersama-sama dengan Djamil Djambek, pada 1919.

Para pelopor pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau berasal dari segala bidang profesi, di antaranya kalangan ulama (Haji Rasul), kalangan pedagang (H. Abdullah Ahmad), dan pada umumnya berhasil melepas dirinya dari tradisi yang ada, seperti Syekh Djamil Djambek, Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan Ibrahim Musa Parabek, di masa hidupnya dipandang sebagai ulama besar, tempat memulangkan segala persoalan agama dan kemasyarakatan pada umumnya.



Gerakan pembaruan pemikiran di bidang agama yang paling banyak terdengar di Sumatra Barat, adakalanya mereka dinamakan kaum modernist atau disebut juga kaum muda. Ulama Zuama yang menggerakkan pembaruan pemikiran berkali-kali berkata, bahwa di setiap bidang boleh mempergunakan akal, yang sebenarnya adalah kurnia Tuhan, kecuali bidang agama.

Jika kepercayaan tetap merupakan penerimaan atas wibawa guru saja, tanpa memungsikan akal pikiran, itu namanya taqlid Kepercayaan sedemikian itu, tidak ada gunanya. Orang berakal haruslah pujaannya Allah semata dan untuk itu dia mestinya mempelajari akar-akar hukum (ushul al-fiqh).

Untuk mengenalkan semua inti ajaran agama Islam kepada masyarakat luas diperlukan adanya gerakan penyampaian secara umum, dalam bentuk tabligh. Di sini letak kiprah terbesar Syekh Muhammad Djambek, seorang ulama besar yang disegani, untuk pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum, dan bertahan sampai kini, dalam rentang waktu satu abad.

Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang dibacakan di surau-surau, diganti dengan tabligh, menceritakan riwayat Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari, dalam satu tradisi ilmu.

Semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah, yang kemudian diikuti oleh para pembaru lainnya di ranah Minangkabau, dan kemudian berkembang menjadi upaya untuk memelihara, dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya, dengan menyebarkan informasi kepada umat.

Djamil Djambek sesuai keahliannya membuat jadwal waktu sembahyang serta untuk keperluan berpuasa di dalam bulan Ramadhan. Jadwal ini diterbitkan tiap tahun atas namanya mulai tahun 1911 Karena Inyik Djambek dikenal sebagai Bapak Ilmu Falak, beliau juga menerbitkan Natijah Durriyyah untuk masa 100 tahun, walaupun karya besar ini menjadi masalah yang sangat dipertikaikan dengan kaum tradisionalis.

Inyik Djambek sangat menghormati adat istiadat Minangkabau, yang bersendi syarak dan syarak bersendi Kitabullah. Dia turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau di tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Djambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.

Seorang pembaru lainnya, yang memberi warna di Minangkabau adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), di masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo. Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Dia dianggap sebagai guru oleh kalangan pembaru di Minangkabau.

Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam yang mendorong umat Islam untuk berjihad betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang merdeka, agar dapat mencapai kemajuan, dan berkompetisi dengan dunia barat, dengan mendirikan sekolah-sekolah.

Di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908, mereka dirikan sekolah bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, yang menjadi model Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908. Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan tahun 1927, namun ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda selama enam bulan

Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan kampung halamannya dan tidak pernah kembali lagi ke nagari asalnya, sampai meninggal dunia pada tahun 1956, di Kuala Kangsar, Perak, Malaya.

Gerakan pembaruaan di awal abad 20 ini dapat disebut sebagai gerakan pembaruan para ulama zuama, yang sesungguhnya telah diwarisi sambung bersambung dalam rantai sejarah yang berkelanjutan semenjak dari dua gerakan Paderi sebelumnya. Dapat pula dinyatakan bahwa gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad 20 di Minangkabau menjadi mata rantai dari gerakan Paderi periode ketiga.

Gerakan Paderi periode pertama, di awal abad kedelapan belas, dimulai pulangnya tiga serangkai ulama Minang (1802), terdiri dari Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan beradat di Minangkabau.

Gerakan Paderi perode kedua dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan terhadap penjajahan Belanda (1821-1837), dan lahirnya piagam Marapalam yang menyepakati adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di ranah Minangkabau.

Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta pemikiran saja. Tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam yang berlaku abadi, yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Sementara itu usaha-usaha pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk sekolah dan madrasah-madrasah, atau kerajinan anak nagari, mulai bermunculan.

Kaum pembaru pemikiran Islam berusaha mengembalikan ajaran dasar agama Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan-tambahan yang memberatkan, dengan melepaskan penganut Islam dari jumud, kebekuan dalam masalah dunia.

Cita-cita pikiran untuk memajukan umat dengan agama Islam yang syumul dan kaffah, hanya dapat dicapai melalui pengamalan syariat, yang terbagi kepada tauhid, ibadat dan akhlak. Dalam ibadah, semuanya terlarang, kecuali yang disuruh. Dalam kaitannya dengan tradisi-tradisi baru yang tidak ada perintahnya, maka tidak dapat diterima sebagai ibadah, dan disebut bid’ah. Akhlak juga meniru kepada Rasulullah SAW, sehingga tampil kehidupan masyarakat yang beradat dengan akhlak Islam.

Di dalam kegiatan pemurnian agama, kaum pembaru menentang berbagai bid’ah yang dibedakan atas bid’ah menurut hukum (syar’iyah), dan bid’ah dalam soal kepercayaan (bid’ah pada I’tikad), yang dapat melahirkan bid’ah pada amalan, seperti pengucapan niyah dan tahyul khurafat.

Islam pada masa kemajuan tidak harus berkembang sejajar dengan perkembangan inteletual, sebab ada hal yang dilarang dan disuruh, dalam batas halal dan haram, serta amar ma’ruf dan nahyun ‘anil munkar, sebagai sifat asli dari agama Islam. Agama juga mengatur hal yang bersangkutan dengan dunia dalam mencapai kehidupan akhirat.

Masalah ini ada yang mengandung nilai ‘ubudiyah, dalam arti berdasarkan perintah dari din Allah, sedangkan cara mengamalkan bersifat duniawi, dan tujuan akhirnya adalah kehidupan akhirat. Umpama, perintah memelihara anak yatim, menghormati orang tua, membersihkan gigi, yang pelaksanaannya sebagian besar terletak pada pilihan individu, namun berkaitan dengan syarak mangato adaik mamakai.

Kemudian sampai pula kepada persoalan yang lebih peka, persoalan politik dan kemudian menyebarkan nasionalisme anti kolonial menuju Indonesia Raya, tidak terlepas dari pergolakan intelektual ini. Tidak saja masalah fikh, tetapi juga masalah tauhid harus dihadapi dengan pikiran yang terbuka.

Perbedaan yang fundamental antara inovasi yang menyalahi hukum hakiki, yang bersumber Quran dan Hadits, dan pembaruan sebagai akibat dari peralihan zaman, harus dibedakan dengan tegas, mana yang disuruh dan mana yang ditegah.

Kaum pembaru berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka. ; mereka menolak taqlid. Ijtihad membawa kaum pembaru untuk lebih memperhatikan pendapat.
Keinginan untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan yang ideal, menghadapkan Minangkabau pada pilihan-pilihan yang kadang-kadang saling bertentangan.

Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam, merupakan pemecahan. Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

Parameter adat yang terbatas kadangkala dapat menutup jalan ke dunia maju. Di samping batasan-batasan syarak berhadapan dengan masalah dosa dan tidak berdosa, atau soal batil dan haq. Maka dakwah melalui cara tabligh, dapat diperankan untuk memberi pengetahuan dan pengenalan kepada masyarakat luas, tentang soal-soal kehidupan dan agama. Disini peran utama Surau Inyik Djambek yang di wariskan oleh Inyik Syekh Muhammad Djamil Djambek.

Pada 30 Desember 1947 (18 Shafar 1366 H), Inyik Djambek wafat, meninggalkan pusaka besar, wirid tsulasa (setiap hari Selasa), yang tetap hidup sampai sekarang, telah berusia 103 tahun. Beliau di makamkan di samping Surau Inyik Djambek di Tengah Sawah Bukittinggi, dalam usia 87 tahun.

Beberapa bulan setelah itu, 26 Januari 1948 (14 Rabi’ul awal 1366 H), teman akrab Inyik Djambek dalam berdakwah, yakni Inyik Syekh Daud Rasyidy (terkenal dengan sebutan Inyik Daud, ayah Buya Datuk Palimo Kayo), meninggal dunia pula di Surau Inyik Djambek di Tangah Sawah, yang dibangun 1908, ketika mengimami shalat maghrib, dan besoknya dikuburkan di samping Inyik Djambek, sebagai makam kembar.

Sampai saat ini, kedua makam ulama besar Minangkabau itu setia mengawal Surau Inyik Djambek, yang telah berusia satu abad ini.

Menyayangi orang Keliling

Menyayangi orang keliling
oleh: H.Mas’oed Abidin

Belum sempurna iman seorang muslim sebelum dia mampu menyayangi orang lain (saudaranya), sebagaimana dia menyayangi dirinya sendiri, demikian di antara bimbingan agama yang sudah lama kita ketahui. Makna lebih dalam adalah kebaikan atau kemuliaan seseorang diukur dengan berapa besar kepeduliannya terhadap umat di sekelilingnya. Apakah itu dalam lingkaran RT, lingkungan RW, atau lebih luas lagi sebagai warga kota, provinsi dan Negara sekalipun.

Kemulian seseorang dapat juga diukur dari kepekaan hati dalam berbuat baik secara ikhlas terhadap orang-orang lain, yang belum bernasib baik (fuqarak wal masakin), dibandingkan dengan dirinya. Bukti dari semua ini dapat juga terlihat dari bertumbuhnya ruhul infaq (kerelaan berinfaq, bersedekah, membantu, atau menyumbang) bagi kemashalahatan orang banyak, lillahi ta’ala atau semata mencari redha Allah.

Karena itu, membayarkan zakat, infaq, dan shadaqah, bagi meringankan beban derita kaum tak berpunya (dhu’afak) sesuai bimbingan Rasulullah SAW, senyatanya adalah satu kewajiban asasi setiap peribadi berpunya, dalam merasakan suatu kegembiraan secara bersama (ijtima’i).

Pada setiap hari raya umpamanya, katakanlah pada hari raya idul fithri atau berlebaran hajji (idul qurban), selalu diwarnai dengan menyantuni orang-orang yang tak berpunya dengan ikhlas, seperti zakat fitrah ataupun dengan daging sembelihan hewan qurban.

Semuanya dimaksudkan sebagai pengikat tali rasa (mawaddah fil-qurba) yang di masa kita sekarang terlihat mulai tidak dihiraukan lagi oleh banyak orang. Sebagai umat yang beradat dengan bimbingan agama Islam, khususnya di Sumatera Barat, dengan adaik basandi syarak, dan syarak basandi Kitabullah sangat dianjurkan memperhatikan keadaan karib kerabat (qarib ba’id), sesuku, sekampung, senagari, bahkan lebih makro adalah kepentingan nasional lebih diutamakan dari kepentingan-kepentingan lainnya, suatu sikap yang mendasari kepedulian dalam berbangsa dan bernegara.

Hubbul wathan minal iman artinya mencintai nagari dan negara adalah bahagian dari iman. Nilai-nilai ini telah melahirkan sikap rela berkorban di masa lalu, sejak 63 tahun Indonesia diproklamasikan, dan atau bahkan sejak ratusan tahun ketika mulai tumbuh cita-cita merintis kemerdekaan Indonesia, mempertahankan karakter bangsa yang bertuhan, dan berbudaya dalam membangun bangsa dan Negara.

Karakter bangsa dipelihara dengan kiat-kiat ibadah, dan dengan mendalamnya rasa peduli, serta sikap rela memberi sebagai suatu sikap perangai terpuji. Masyarakat yang berkualitas adalah masyarakat yang suka memberi, dan tidak hanya pandai menengadahkan tangan dengan semboyan “tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah” sesuai hadist Rasulullah SAW.

Mewujudkan masyarakat yang bertangan di atas tidaklah mudah, dan ini satu pekerjaan berat dan besar, karena terlebih dahulu harus ditumbuhkan keberpunyaan dalam arti seluasnya adalah punya harta, punya keinginan, punya kerelaan, punya sikap untuk memberi itu. Memberi adalah suatu izzah (kemuliaan) yang dimiliki oleh aghniya’, yakni orang atau bangsa, yang berpunya.